Sabtu, 30 Januari 2016

Makna Nama Orang Bali

Asal Usul Dan Makna Nama Orang Bali

gambar makan nama orang bali
gambar makan nama orang bali

            Selain keindahannya Bali juga memiliki banyak tradisi dan budaya,sebagian besar tradisi di bali merupakan alkulturasi antara budaya lokal yang asli dengan tradisi agama hindu, serta kepercayaan-kepercayaan lainnya. Dan juga dalam penamaanya memiliki makna tertentu, nama depan orang bali pun sangat unik, wayan, made, nyoman, dan ketut nama-nama yang sudah tidak asing jika berada di Bali yang juga sudah menjadi cirri khas identitas orang bali. Sebagian orang yang pertama kali datang ke Bali pastinya bingung pada nama orang bali, karena ada ratusan, mungkin ribuan wayan, made, nyoman, ketut, gde, komang, putu, kadek, dan nengah di bali. Nama-nama tersebut bukan deberikan begitu saja, mereka semua punya arti nama depan orang Bali.

            Menurut sejarahnya dari pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. (63), nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali.

            Nama depan orang Bali bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan, ini bisa dibedakan dengan huruf awalan yang diawali dengan I untuk pria, dan Ni bagi perempuan. Sebagai contoh: I Wayan Merta  (dia anak laki-laki karena ada kata “I” di depan Wayan), Ni Wayan Sumiarti (dia adalah perempuan karena ada kata “Ni” di depan Wayan).

            Selain untuk membedakan laki-laki dan perempuan nama depan orang Bali juga bisa dijadikan penanda anak keberapa dari keluarga tersebut. Jadi dari namanya kita bisa tahu alat kelaminya dan anak keberapa dari pemilik nama tersebut. Menurut “sastra kanda pat sari” nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai macam penanda urutan kelahiran sang anak
gambar makan nama orang bali
gambar makan nama orang bali
            Dimulai dari anak pertama yaitu  Wayan, selain nama wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu, Gede atau ngurah. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. Nama Wayan datang dari kata “wayahan” artinya lebih tua, dan “Gede” berarti besar, sedangkan  kata “Putu” berarti cucu.

            Untuk Anak kedua yaitu Made diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan Nengah yang juga diambil dari kata tengah. Dan kata Kadek berasal dari kata “Adek” yang berarti adik muda.

            Dan  Anak ketiga biasanya diberikan nama depan Nyoman atau Komang yang konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar). Khusus untuk nama Nyoman ini konon mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Komang merupakan serapan dari nyoman. Menurut pandangan hidup orang Bali, baiknya dalam  suatu keluarga mempunyai tiga orang anak saja. Sesudah mempunyai anak tiga, kita dianjurkan untuk lebih bijaksana.

            Sedangkan untuk anak terakhir anak keempat diberikan nama depan ketut  diambil dari kata kitut (pisang kecil di ujung terluar) ke-tuut (diikuti) sehingga menjadi ketut, karena anak keempat akan mengikuti saudara-saudaranya.

            Lalu, bagaimana jika sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak?  Untuk penamaan anak ke- lima karena nama depan hanya ada empat nama jadi anak kelima akan kembali ke penamaan anak pertama yaitu wayan, gede, atau putu. Tapi  Ada beberapa orang bali yang sengaja menambahkan kata "Balik" setelah nama depan anaknya untuk memberi tanda bahwa anak tersebut lahir setelah anak yang keempat. Contohnya: I Wayan Balik Suarsa. Jadi nama depannya adalah "I Wayan Balik" yang menandakan bahwa dia adalah anak kelima, untuk yang keenam kembali ke made atau kadek dan begitu seterusnya.

            Program dari pemerintah KB ( keluarga berencana) menyarankan untuk satu keluarga mempunyai 2 dua anak dan maksimal tiga anak, sehingga untuk nama ketut atau wayan balik sudah sangat jarang ditemukan, terutama untuk daerah perkotaan, di daerah pedesaan masih bisa ditemukan. Nama-nama yang digunakan memang dipilih berdasarkan fenomena alam yang menyertai kelahiran sang anak atau terkadang pengharapan sang orangtua terhadap anaknya kelak. Nama adalah sebutan yang digunakan untuk membedakan satu sama lain. Arti nama depan orang bali merupakan Konsep penamaan dibali sudah diatur sedemikian rupa oleh leluhur, sehingga untuk membedakan laki-laki, perumpuan, anak pertama atau kedua sangat mudah untuk dilakukan.

Jumat, 29 Januari 2016

Sejarah Tradisi Omed-omedan Bukan Ciuman Massal Truna-Truni Di Bali

Sejarah Tradisi Omed-omedan 
Desa Sesetan

Gambar tradisi omed-omedan bali
Gambar tradisi omed-omedan bali
Tradisi Med-Medan atau Omed-omedan adalah tradisi indonesia khususnya tradisi di Bali yang mendunia selain tradisi perang pandan di tenganan.

Omed-omedan dalam bahasa Indonesia bermakna tarik-menarik.

Belum ada data historis pastinya kapan dimulai Tradisi Omed-omedan oleh warga banjar Kaja Sesetan. 

Namun yang jelas Tradisi Omed-omedan ialah tradisi yang telah berumur ratusan tahun dan dilestarikan secara turun-temurun hingga masa kini.

Sejarah Tradisi Omed omedan
Pada awal mulanya sejarah Tradisi Omed-omedan berlangsung pada saat Hari Raya Nyepi, tempat dilakukannya di Puri Oka. 

Puri Oka merupakan sebuah kerajaan kecil pada zaman penjajahan Belanda. 

Karena pada saat itu seorang tokoh puri Ida Bhatara Kompiang sakit keras maka dihimbau seluruh penduduk desa Sesatan untuk tidak melakukan keributan di depan Puri.

Pada saat hari Nyepi tiba para warga pun sedih dan kecewa akibat larangan tersebut, dan beberapa warga akhirnya melanggar dan tetap mengadakan Tradisional Omed-omedan.

Karena sudah menjadi warisan dari nenek moyang mereka, Saking antusiasnya suasana saat itu, suasana jadi gaduh akibat acara saling rangkul para muda mudi di depan puri. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar. 

Raja yang pada saat itu sedang sakit keluar dan melihat warganya yang sedang rangkul-rangkulan. 

Anehnya melihat warganya melakukan omed omedan, tiba-tiba raja tak lagi merasakan sakitnya. Ajaibnya setelah itu raja kembali sehat seperti sediakala. 

Dan sejak itu peristiwa tersebut Tradisi Omed-omedan kembali di teruskan dan dilaksanakan seperti semula. 

Namun pemerintah Belanda yang waktu itu menjajah Bali gerah dengan upacara itu.

Belanda pun melarang ritual permainan muda mudi tersebut. Warga yang taat adat tidak menghiraukan larangan Belanda dan tetap menggelar Tradisi Omed-omedan. 

Namun tiba-tiba ada 2 ekor babi besar berkelahi di tempat Tradisi Omed-omedan biasa digelar. 

Akhirnya raja dan rakyat meminta petunjuk kepada leluhur. Setelah itu Tradisi Omed-omedan dilaksanakan kembali tapi sehari setelah Hari Raya Nyepi.

Sejarah omed-omedan, festival omed-omedan
Gambar barong bangkung

Dan kembali pada tahun 1970-an Tradisi Omed-omedan ditiadakan dengan alasan banyak menuai kontrofersi,

Namun setelah setahun ditiadakan terjadi kejadian lagi 2 (dua) ekor babi yang berkelahi di pelataran sebuah pura hingga kedua babi itu berdarah-darah dan kemudian babi itu menghilang begitu saja. 

Masyarakat kemudian menganggap kejadian itu sebagai pertanda buruk karena ditiadakannya Tradisi Omed-omedan itu. 

Setelah itu dilakukan musyawarah dan juga petunjuk orang yang kesurupan di Pura bale Banjar diputuskan Tradisi Omed-omedan tetap akan diadakan. 

Kejadian ini dipercaya oleh warga banjar sebagai sebuah anugerah sehingga oleh masyarakat Banjar Kaja dibuatlah Barong Bangkung (Barong Babi). 

Ditampilkan pertunjukan tari barong bangkung (barong babi) yang dimaksudkan untuk mengingat kembali peristiwa beradunya sepasang babi hutan di desa ini.


Video omed omedan youtube

Tradisi Omed-omedan dilakukan di jalan utama yang tepat berada di depan Bale Banjar Kaja Sesetan, Desa sesetan, Denpasar pukul 15:00.

Acara omed-omedan ini berlangsung sekitar dua jam. Tradisi Omed-omedan dilakukan oleh para Sekaa Teruna Satya Dharma Kerthi atau pemuda-pemudi Banjar Kaja sesetan yang belum menikah.

Kamis, 28 Januari 2016

Tradisi Perang Pandan Di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali

Tradisi Perang Pandan Di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali

Gambar perang pandan desa tenganan 1979
Tradisi Perang pandan merupakan tarian sakral atau yang di sebuat bali-balihan, salah satu tradisi yang ada di Tradisi Perang Pandan Atau Makere-Kere Di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali. Tenganan adalah salah satu desa tertua yang ada di pulau Bali. Tradisi Perang pandan juga disebut dengan istilah makere-kere Tradisi Perang pandan di katagorikan sebagai Tari wali/ tari sakral yang hanya bisa di pentaskan di adakan pada saat yang sudah di tentukan jadi tidak boleh di geser di tambah kemudian merupakan salah satu rangkaiaan persembahan tari persembahan khususnya kepada dewa indra juga terhadap ida sang yang widhi wasa secara umum mengapa dewa indra karena upacara ini di tenganan ini menganut agama hindu aliran indra sudah di ketahui bahwa dewa indra sebagai dewa kemakmuran juga di kenal sebagai dewa perang.
Gambar perang pandan desa tenganan
Gambar perang pandan desa tenganan
Alat utama dalam tradisi ini adalah Tameng / perisai yang biasanya terbuat dari bambu atau rotan dan daun pandan yaitu tumbuhan semak yang daunnya memiliki duri-duri yang sangat tajam. Tradisi Perang pandan dilaksanakan serangkaian dalam aci usaba sambah di Desa Tenganan Pagringsingan. Tradisi Perang pandan dilaksanakan sebanyak dua kali. Pertama, di Bale Patemu Kaja. Kemudian kedua, dilanjutkan di Bale Patemu Tengah dengan tambahan panggung atraksi. Hari kedua perang pandan juga dikenal masyarakat setempat dengan nama pengrame sambah.

Sebelum Tradisi Perang Pandan Atau Makere-Kere Di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali. dimulai,diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,lalu diadakan ritual minum tuak, tuak dalam di bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. 

Gambar perang pandan desa tenganan
Gambar perang pandan desa tenganan
Pakaian yang digunakan dalam Tradisi Perang pandan ini menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada. Tak ada aturan baku dalam Tradisi Perang pandan , masing-masing pesertanya membawa senjata berupa seikat daun pandan duri di tangan kanan dan sebuah perisai yang terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Setelah Pemangku adat memberikan aba-aba tanda perang dimulai Peserta perang pandan akan menari-nari dan sesekali menyabetkan pandan berduri pada peserta lainnya Kedua peserta perang saling menyerang, mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan, kemudian saling memukul punggung lawan dengan daun pandan yang berduri. 
Gambar perang pandan desa tenganan
Gambar perang pandan desa tenganan


Gambar perang pandan desa tenganan
Gambar perang pandan desa tenganan
Nantinya setiap lukanya akan diobati khusus dengan obat yang disakralkan. Obat tersebut sudah dipersiapkan sebulan sebelum Tradisi Perang pandan oleh para daha (truni/pemudi) desa tenganan). jika pandan satu durinya cepat patah tidak menyebabkan luka kalau durinya sampai tertanam tidak di obati pun tidak akan infeksi untuk mempercapat proses pengeringan di obati dengan cuka kunyik isen. itu mempercepat malah pada waktu kena tidak terasa pada waktu di obati memang terasa perih tapi beberapa menit saja



Tradisi Perang Pandan Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali sejarah yg tidak tertulis, ini merupakan rangkain upacara yang sudah di jalankan turun- temurun, Tradisi Perang Pandan ini harus terus dilaksanakan turun-termurun supaya tradisi ini tidak terkikis oleh zaman sekarang yang semakin modern dan traidisi ini nantinya bisa di lihat oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.

Rabu, 27 Januari 2016

Ayunan tradisi unik dari Desa Tenganan

Ayunan tradisi unik dari Desa Tenganan

gambar tradisi ayunan desa tenganan
gambar tradisi ayunan desa tenganan

Ayunan adalah permainan yang sering dilakukan anak-anak untuk bersenang-senang tapi bagaimana jika bermain ayunan setinggi 5 meter, hanya ada di Desa Tenganan Pengringsing, Karangasem.

Inilah “tradisi ngayunan damar” dilakukan setahun sekali biasanya jatuh pada bulan Juni dan Juli setelah pegelaran Mekare-kare (Perang Pandan).

Ayunan yang digunakan dalam prosesi ini adalah ayunan warisan nenek moyang yang tidak boleh sembarangan dimainkan. Setelah dipasang, ayunan harus diupacarakan terlebih dahulu. 

gambar tradisi ayunan desa tenganan
gambar tradisi ayunan desa tenganan

Tradisi ayunan ini dimainkan oleh 8 orang gadis belia yang disebut dengan “truni daha” di truni daha ini nantinya akan dipilih lagi untuk mengenakan mahkota yaitu “truni daha miik” gadis yang belum kena datang bulan.

Jika truni daha miik tidak ada bisa digantikan oleh truna (laki-laki) yang belum meranjak usia dewasa. Dalam penyelenggaraan tradisi ini para truni daha menggunakan pakaian rangrang kain tradisional berwarna ke-emasan khas masyarakat bali aga.

Permainan ayunan pun dimulai bertempat di halaman desa para ke 8 truni daha naik ke atas ayunan dan menempati posisi masing-masing. Di sebelah kanan dan kiri tiang sudah siap dua orang truna (pemuda) yang siap mengayunka ayunan. 

gambar tradisi ayunan desa tenganan
gambar tradisi ayunan desa tenganan

Ayunan pun diputar Nampak para truni daha terlihat senang dan ria ada juga yang sedikit takut karena ayunan ini memang cukup tinggi.

sambil diiringi gamelan selonding yang dimainkan oleh para penabuh membuat suasana semakin meriah. Dalam mengayunkanya pun tidak boleh sembarang harus di putar tiga kali ke arah selatan selanjutnya tiga kali kea rah utara begitu seterusnya selama tiga kali berturut-turut.

gambar ayunan bali
gambar Ayunan Tempo Doloe

Makna dari tradisi ngayun damar secara sederhana berguna untuk mempererat persahabatan. Namun arti secara mendalam belum banyak diketahui.

Dan asal-usulnya pun masih simpang-siur tapi krama desa tenganan yang merupakan orang bali mula atau bali aga (orang bali asli bukan majapahit) tetap menjaga tradisi leluhur selama ratusan tahun secara turun-temurun.

Senin, 25 Januari 2016

Tradisi Tektekan Kerambitan Mengusir Roh Jahat di Tabanan

Tektekan Mengusir Roh Jahat Di Tabanan


gambar tradisi tektekan tabanan
gambar tradisi tektekan tabanan
Ditinjau dari etimologi kata Tektekan berasal dari kata ”Tek” karena mungkin didominasi oleh suara tek..tek..tek, dijadikan kata mejemuk menjadi tektek, ditambah dengan akhiran an menjadi tektekan. Tektekan berarti sejumlah kentongan yang terbuat dari bambu yang digunakan masyarakat dengan cara ditabuh (dipukul) menggunakan panggul (pemukul) yang terbuat dari bambu atau kayu. Tektekan muncul ketika alat-alat gamelan yang terbuat dari bahan perunggu harus ditanam di dalam tanah karena dianggap tabu untuk ditabuh. 

Gamelan Tektekan di daerah Tabanan berfungsi untuk mengusir bhuta kala pada saat masyarakat merasakan desa sedang grubug, yang artinya desa sedang dilanda penyakit non medis. suara dari benda-benda yang dipukul dan bisa mengeluarkan suara keras diyakini bisa membantu, pada kepercayaan masyarakat setempat disaat seseorang hilang disembunyikan oleh makhluh halus dari dunia lain, maka akan memukul benda yang bisa menimbulkan bunyi di tempat kejadian, dibeberapa tempat lainnya bahkan menggelar bunyi-bunyian dari gong dinakamakan tabuh beleganjur sampai akhirnya orang tersebut bisa ditemukan, karena kepercayaan terebut pula dalam mengusir roh jahat yang menimbulkan wabah, maka Tektekan ini digelar.

gambar tradisi tektekan tabanan
gambar tradisi tektekan tabanan

Sejak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun 2013, Tektekan yang berasal dari Desa Karambitan ini menjadi sangat menonjol dibandingkan dengan Tektekan dari daerah lain di Bali. Namun seiring perkembangan jaman yang semakin menonjolkan kreativitas untuk berkesenian, perlahan Tektekan itu sendiri menjadi berbeda fungsi atau kegunaannya bertambah. Tektekan yang awalnya berfungsi sebagai pengusir bhuta kala disaat masyarakat desa dilanda grubug, kemudian Tektekan menjadi gamelan iringan sebuah drama seni teatrikal yang terkenal dengan sebutan Tektekan Calonarang. Pada saat seni tektekan ini dipertunjukkan dalam bentuk berlakon, maka akan dipentaskan saat pada saat cerita Calon Arang. Suara tek dihasilkan dibarengi juga dengan suara kendang, suling dan juga cenceng, sehingga menjadi kolaborasi dan menghasilkan suara yang enak didengar.



Biasanya Tektekan dilakukan pada saat Pengrupukan Sehari sebelum hari Raya Nyepi, warga Desa Adat Kediri tabanan pada saat sandikala (pergantian hari menuju malam) berkeliling desa menggelar tradisi tektekan untuk mengusir bhuta kala agar tidak mengganggu.

Sabtu, 23 Januari 2016

Mesbes Bangke "Ngarap" Banjar Buruan, Tampaksiring, Gianyar

gambar tradisi mesbes bangke tampaksiring
gambar tradisi mesbes bangke tampaksiring
Seseorang sudah berada di atas mayat. Satu-persatu bahkan berebutan Mencabik dan menggigit tikar, kain kafan, dan rantai bambu yang kemudian dihempaskan ke udara,mayat diarak seperti dipermainkan. Guyuran air dari rumah warga menghujani jalanan, gamelan baleganjur yang menghentak menambah suasana prosesi ritual Mebes bangke. Tradisi mesbes bangke (mencabik mayat) yang sudah dilakukan sejak 1980-an oleh Banjar Buruan, Tampaksiring, Gianyar

Secara turun-temurun Menurut penuturan para tetua di Banjar Buruam. tradisi ini muncul karena pada jaman dahulu setiap mayat baunya sangat menyengat sehingga warga tidak bisa membawa ke kuburan. Dengan kondisi tersebut, muncul ide untuk melupakan bau busuk, krama mengarak sambil mempermainkan mayat tersebut. Tujuannya agar tidak ngadek (mencium) bau busuk saat mengarak, makanya ngarap (mempermainkan mayat) inilah yang dilakukan oleh warga.




Dari 13 banjar di Desa Tampaksiring, hanya Banjar Buruan yang masih setia menjalankan tradisi mesbes bangke.

Tradisi Ngusaba Guling, Desa Timbrah, Karangasem

gambar ngusaba guling di desa timbrah, karangasem
gambar ngusaba guling di desa timbrah, karangasem

            Ratusan  babi guling berjejer rapi di plataran Pura Dalem Desa Timbrah Karangasem. para pecinta babi guling akan ngiler dibuatnya, bau khas babi guling menyengat di pelataran pura jarak beberapa meter pun masih tercium baunya.

gambar ngusaba guling di desa timbrah, karangasem
gambar ngusaba guling di desa timbrah, karangasem

            Namanya “Ngusaba Guling” Disebut juga Ngusaba Dalem  yang terletak di Desa Timbrah Karangasem. Tradisi Ngusaba Guling ini dilaksanakan setiap tahun menurut perhitungan kalender Hindu Bali, yaitu setiap 420 hari pada Sukra Pon Kewulu. Tradisi turun temurun ini bertujuan untuk memohon kepada Ida Batari Durga (Sakti dari Dewa Siwa) agar memberikan kesejahteraan dan keselamatan kepada krama Desa Timbrah. Persembahan babi guling merupakan wujud terima kasih krama atas limpahan karunia, berupa hasil bumi dan ternak dari Ida Batara yang malinggih dan di-sungsung di Pura Dalem Desa Pakraman Timbrah.

            Tercatat 2016 desa adat timrah memiliki 850 kepala keluarga dan setiap keluarga mempersembahkan babi guling, bayuh dan banten tapi ini bukan keharusan jika ada warga tidak mampu bisa mengganti dengan guling bebek. Setelah selesai upacara nantinya warga yang tidak mampu akan dibagikan babi guling atau dalam istilah bali ngejot.

gambar ngusaba guling di desa timbrah, karangasem
gambar ngusaba guling di desa timbrah, karangasem

            Tradisi ngusaba yang setahun sekali ini merupakan bentuk dari rasa syukur dan persembahan tulus iklas warga desa adat timrah kepada Ida Shang hyang Widhi wasa dalam manifestasinya sebagai Bhatari Durga agar diberi keselamatan dan kesejahteraan. Juga sekaligus dapat mempererat kebersamaan dari para karma warga desa adat timrah.


Kamis, 21 Januari 2016

Mekotekan, Ritual Penolak Bala Desa Munggu


Gambar mekotekan desa munggu
Gambar mekotekan desa munggu
"tek tek tektek tek tek” terdengar suasana riuh di Desa Munggu, Kabupaten Badung, suara berasal dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya dan panjangnya sekitar 2-3,5 meter, suara kayu yang saling bergesekan dan berpalu, sehingga disebut makotek

Menurut I Ketut Kormi selaku Bendesa Adat Munggu “tradisi Mekotek yang dilakukan warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah kemenangan Raja Munggu di peperangan bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian me­nggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa ter­kena gerubug atau wabah pe­tir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.”
 
Gambar mekotekan desa munggu
Gambar mekotekan desa munggu
         

Dengan iringan tetabuhan gamelan baleganjur ratusan kayu dari pohon pulet sepanjang 3,5 meter itu dipegang oleh masing-masing pemain, kemudian para pemain yang terbagi menjadi dua kelompok masing-masing menggabungkan kayu tersebut hingga membentuk gunungan kerucut untuk diadu dengan gunungan kayu kelompok lawan. Salah seorang pemuda yang merasa tertantang pun menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

Gambar mekotekan desa munggu
Gambar mekotekan desa munggu
Kedua kelompok yang memegang kayu tersebut pun kemudian mempertemukan dua pemuda yang berdiri di atas kayu untuk berperang. Meski cukup berbahaya lantaran banyak pula yang terjatuh dari ujung kayu, namun tradisi ini tetap tampak menyenangkan karena banyaknya orang yang berkali-kali mencoba untuk naik. 


            ritual yang dilaksanakan setiap enam bulan kalender bali ini sudah ada sejak tahun 1934. Namun baru mulai dilestarikan sejak tahun 1946 setelah warga Munggu terbebas dari gerubug atau wabah penyakit.


Tradisi Mesabatan Api Banjar Nagi, Desa Petulu, Ubud


Dua buah tumpukan sabut kelapa sudah disiapkan di tengah-tengah tempat ritual. Beberapa pemuda sedang merias wajah dengan coretan cat dan juga bermain gamelan. api berkobar dari serabut kelapa, tembang gegenjekan mengalun. Ada tarian dan nyanyian.

"Ainggih rarisin tradisi sabatan," ujar Jro Bendesa Desa Pakraman Nagi, I Ketut Marka melalui alat pengeras suara saat api di batok kelapa sudah membara.


Mendapat aba-aba, warga yang terdiri dari pemuda yang sebelumnya duduk melingkari api bangun dari duduknya sambil meloncat ke dalam kobaran api. Sekelompok pemuda melemparkan bara api ke rekannya Sejumlah pemuda saling serang dengan api sabut kelapa dalam perang api.



Semakin kencang tempo gamelan membuat Pemuda Sekaa Teruna Teruni (STT) Mekarjaya Banjar Nagi semakin bringas. Teriakan dan tantangan saling mereka lontarkan. Ritual ini memang termasuk tradisi adu nyali dan keberanian.

Itulah sedikit gambaran Tradisi Mesabatan api di Banjar Nagi, Desa Petulu, Ubud. Bagi warga Banjar Nagi Ubud, tradisi yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam ini dipercaya dapat menghilangkan segala pengaruh atau sifat negatif dalam diri manusia. Tradisi ini bertujuan untuk mengikis segala amarah atau dendam antar warga menjelang perayaan hari Raya Nyepi yang hening.

Sebelum melakukan Mesabatan Api, seluruh pemuda yang ikut diperciki tirta atau air suci oleh pemangku (pendeta hindu) pura setempat.Selain itu, mereka juga diolesi cairan dari kapur putih, yang dipercaya dapat melindungi mereka dari cedera akibat terkena lemparan bara api.

Rabu, 20 Januari 2016

Sejarah Ogoh-ogoh di Bali

“Ogoh-ogoh” penamaan ogoh-ogoh diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa bali, artinya sesuatau yang di goyang-goyangkan,”ogah-ogah, ogoh-ogoh, kala-kali lumamapah/ogah-ogah, ogoh-ogoh, ngiterin dese” salah satu lirik lagu wajib di hari pengerupukan satu hari sebelum perayaan nyepi. 

Gambar ogoh-ogoh banjar anggarkasih sanur tahun 1985
Gambar ogoh-ogoh banjar anggarkasih sanur tahun 1985
            Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sejak tahun 80-an, umat hindu mengusung ogoh-ogoh yang dijadikan satu dengan acara mengelilingi desa bertujuan agar buta kala yang merupakan manifestasi unsur-unsur negatif  yang ada di sekitar desa agar ikut bersama ogoh-ogoh yang nantinya ogoh-ogoh akan dilebur atau dibakar.

gambar barong landung
gambar barong landung
            Tradisi mengembalikan Bhuta Kala ke asalnya di hari pengrupukan, disimbolkan dengan ogoh-ogoh, mirip tradisi lama yaitu Tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, disebutkan bisa dirujuk untuk menelusuri asal-usul atau awal mula ogoh-ogoh.

gambar ogoh-ogoh bali
gambar ogoh-ogoh bali

            Ogoh-ogoh adalah seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Khala. Rupa mereka direka sedemikian rupa dengan variasi bentuk menyeramkan. Ada yang berwujud raksasa, perjelmaan dewa-dewi dalam murti-nya, mengambil tokoh dari cerita pewayangan atau memakai figur-figur yang sedang populer. Ogoh-ogoh merupakan cerminan sifat-sifat negatif pada diri manusia.
    
            Dampak positif dari perayaan ini seperti menjadi hiburan ter sendiri bagi umat hindu dan non hindu, menarik banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri, karena ogoh-ogoh adalah sebuah patung yang sangat besar maka di butuhkan banyak orang untuk mengaraknya dari sanalah rasa persatuan dan kesataun diantara umat hindu, dalam pebuatan ogoh-ogoh yang mengandung unsur seni dapat menghidupkan kreatifitas pada pemuda bali.

Pawisik Warga Renon Pantang Membuat Ogoh-ogoh


Gambar ogoh-ogoh bali.
Gambar ogoh-ogoh bali.

Nyepi adalah perayaan besar bagi umat hindu, karena sehari sebeum nyepi yaitu pengerupukan seluruh masyarakat bali akan tumpah ruah ke jalan menyaksikan arakan ogoh-ogoh dari berbagai daerah. Disiniah akan ada saling adu kreativitas dari masing-masing daerah untuk menunjukkan ogoh-ogohnya terbaik.

Tapi pemandangan berbeda terjadi di desa pakraman renon, denpasar di saat semua pemuda sibuk dengan ogogh-ogohnya di daerah renon tidak nampak sepi tidak ada satu pun ogoh-ogoh yang melintas diceritakan konon setiap kali akan dibuat,ogoh-ogoh itu akan hidup

Dari penuturan masyarakat awal mula terjadi Saat pertama kali tahun 80-an warga Renon membuat ogoh-ogoh. Saat itu, Banjar Tengah membuat ogoh-ogoh berwujud babi. Namun, beberapa jam sebelum pengarakan ogoh-ogoh dimulai yakni saat Ida Bhatara masineb di Bale Agung setelah nyejer selama tiga hari sejak pelaksanaan melis, tiba-tiba saja penari Baris Cina yang merupakan tarian sakral warga Renon kerauhan. Pada saat yang sama muncul kegaduhan di banjar-banjar yang membuat ogoh-ogoh. Banyak warga melihat wujud ogoh-ogoh itu hidup. Seperti wujud babi hidup menjadi babi dan wujud ular hidup menjadi ular sehingga membuat para pengaraknya takut.

gambar tari baris cina
gambar tari baris cina

Saat itulah muncul pamuwus (pawisik) dari Ida Batara melalui para penari Baris Cina yang kerauhan bahwa Renon tidak boleh membuat ogoh-ogoh. Ida Batara tidak berkenan di wilayah Desa Renon terdapat boneka raksasa itu.

Semenjak kejadian itu warga renon tidak membuat ogoh-ogoh lagi Karena, warga Renon menganggap membuat atau pun mengarak ogoh-ogoh sebagai suatu hal yang bisa menimbulkan bencana bagi daerahnya.


Sumber/balisaja.com/2011/Warga Renon Pantang Buat Ogoh-ogoh .

Mesabat Biu Tradisi Desa Tenganan



Gambar desa tenganan
Gambar desa tenganan
Perang Pisang dilaksanakan di Desa Tenganan Daud Tukad, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Pulau Bali-Indonesia. Berjarak sekitar 60 km ke sebalah timur Kota Denpasar. Perang Pisang atau Mesabatan Biu Perang Pisang ini merupakan bentuk ritual menguji mental dan fisik dua calon pemimpin teruna yang disebut Saye dan Penampih.

Dalam pelaksanaannya, ada 16 orang pemuda yang sudah dipilih oleh kelian adat sebagai lawan dari calon ketua dan wakil ketua. Kemudian 16 pemuda yang telah dipilih  berkumpul di ujung desa, yang berjarak kurang lebih 300 meter dari pura Bale Agung. Ke-16 pemuda tersebut akan menjadi lawan bagi dua pemuda yang akan memegang tampuk ketua dan wakil ketua Desa Tenganan. Kedua pemuda tersebut biasanya sudah berdiri di jalan yang berlawanan dengan ke-16 pemuda tersebut.

Gambar  mesabat biu desa tenganan
Gambar  mesabat biu desa tenganan
Begitu kulkul ditalu sekitar pukul 10.00 Wita, Saye dan Penampihnya keluar Pura Dalem dengan memikul keranjang yang di dalamya berisi hasil bumi berupa pala bungkah berupa jenis umbi-umbian seperti ketela rambat, dan sebagainya.Keluarnya sang Saye dan Penampih ini langsung disambut sorakan puluhan pemuda yang sudah menunggu mereka di halaman Pura Puseh,
Gambar  mesabat biu desa tenganan
Gambar  mesabat biu desa tenganan
dan begitu keduanya melintas di depan Pura Puseh,  puluhan pemuda langsung men- yerang dengan lemparan pisang mentah. upacara  ini baru dikatakan berakhir ketika kedua pemuda tersebut sampai di pintu gerbang Pura Bale Agung. Sehingga ketika mereka berhasil melewati pintu gerbang pura tersebut maka akan langsung dinyatakan lulus serta berhak atas pengukuhan ketua dan wakil ketua pemuda Desa Tenganan.

Megibung atau makan bersama dalam satu wadah di Pura Bale Agung yang diikuti oleh semua warga desa menandai berakhirnya prosesi perang pisang. Selain sebagai prosesi menguji mental Saye an Penampih perang pisang juga bisa mempererat persaudaraan pemuda desa tenganan. Tenganan memang unik selain tradisi perang pisang, juga memiliki tradisi perang pandan atau mekare-kare.