Gambar mekotekan desa munggu |
"tek tek tektek tek tek” terdengar suasana riuh di Desa Munggu, Kabupaten Badung, suara berasal dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya dan panjangnya sekitar 2-3,5 meter, suara kayu yang saling bergesekan dan berpalu, sehingga disebut makotek
Menurut I Ketut Kormi selaku Bendesa Adat Munggu “tradisi Mekotek yang dilakukan warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah kemenangan Raja Munggu di peperangan bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian menggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa terkena gerubug atau wabah petir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.”
Menurut I Ketut Kormi selaku Bendesa Adat Munggu “tradisi Mekotek yang dilakukan warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah kemenangan Raja Munggu di peperangan bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian menggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa terkena gerubug atau wabah petir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.”
Gambar mekotekan desa munggu |
Dengan iringan tetabuhan gamelan baleganjur ratusan kayu dari pohon pulet sepanjang 3,5 meter itu dipegang oleh masing-masing pemain, kemudian para pemain yang terbagi menjadi dua kelompok masing-masing menggabungkan kayu tersebut hingga membentuk gunungan kerucut untuk diadu dengan gunungan kayu kelompok lawan. Salah seorang pemuda yang merasa tertantang pun menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.
Gambar mekotekan desa munggu |
Kedua kelompok yang memegang kayu
tersebut pun kemudian mempertemukan dua pemuda yang berdiri di atas kayu untuk
berperang. Meski cukup berbahaya lantaran banyak pula yang terjatuh dari ujung
kayu, namun tradisi ini tetap tampak menyenangkan karena banyaknya orang yang
berkali-kali mencoba untuk naik.
ritual
yang dilaksanakan setiap enam bulan kalender bali ini sudah ada sejak tahun
1934. Namun baru mulai dilestarikan sejak tahun 1946 setelah warga Munggu
terbebas dari gerubug atau wabah penyakit.