Tradisi Mbed-Mbedan Desa Adat
Semate
gambar tradisi mbed-mbedan desa semate |
Di
Dalam Raja Purana itu dikisahkan, bahwa seorang rsi yang bernama Rsi Mpu Bantas
sedang melakukan perjalan suci ke sebuah hutan yang banyak ditumbuhi oleh kayu
putih. Di hutan itu beliau Rsi Mpu Bantas bertemu dengan para keturunan Mpu
Gnijaya. Beliau Rsi Mpu Bantas lalu bertanya kepada warga, kenapa mereka para
warga keturunan mpu gnijaya berada di wilayah hutan yang ditumbuhi kayu putih
itu. Warga keturunan mpu gnijaya kemudian
menjawab bahwa alas an mereka berada di hutan karena mereka tidak sependapat
dengan tindakan rajanya. Karena Beliau Rsi Mpu Bantas mengetahui bahwa hutan
yang banyak ditumbuhi kayu putih itu
angker, maka beliau Rsi Mpu Bantas menyarankan warga membuat tempat pemujaan
agar selamat dari bahaya yang ada di hutan.
Mendengar
hal tersebut dari beliau Rsi Mpu Bantas Warga pun membuat tempat pemujaan. Setelah
tempat pemujaan dibuat, warga lalu melakukan pertemuan untuk menentukan nama
pura tersebut, namun pertemuan itu tidak berlangsung lancar, terus terjadi tarik ulur antara warga. Setelah
Lama tidak menemukan titik temu, Rsi Mpu Bantas lalu memberikan nama kahyangan
tersebut dengan nama Putih Semate, dimana “Putih” diambil dari karena melihat wilayah tersebut banyak
ditumbuhi oleh kayu putih. Sedangkan “Semate” diambil karena warga telah bersatu dalam pikiran dan
tidak mau tunduk dengan orang lain dan berketetapan tinggal di wilayah ini,
sehidup semati.
gambar tradisi mbed-mbedan desa semate |
Kejadian
tarik ulur di musyawarah dalam penamaan tempat pemujaan tersebut menjadi cikal
bakal lahirnya tradisi Mbed-mbedan atau dalam bahasa Indonesia berarti “saling
tarik” . tradisi ini bertujuan untuk menghormati bhisama Rsi Mpu Bantas dalam
suatu pengambilan keputusan yang saling tarik ulur dalam suatu musyawarah di
Desa Adat Semate.
Tradisi
ini diadakan untuk pertama kali sekitar tahun saka 1396 atau 1474 masehi pada
saat pemlaspasan berdirinya pura
kahyangan tiga di Desa Adat Semate, , Kelurahan
Abianbase, Kecamatan Mengwi-Badung..Tradisi Mbed-mbedan ini sempat ditiadakan
sampai puluhan tahun lamanya, namun kemudian akhirnya dilaksanakan kembali di
tahun 2011, bertepatan tanggal 1 pada sasih Kedasa, sehari setelah Hari Raya Nyepi.
gambar tradisi mbed-mbedan desa semate |
Seperti halnya sebuah perlombaan tarik
tambang pada umumnya, namun yang digunakan tidaklah tali tambang namun tali yang digunakan berasal dari batang pohon
menjalar, yang oleh masyarakat Semate disebut bun kalot yang tumbuh di kuburan
Desa Semate. Mbed-mbedan kemarin tak hanya diikuti generasi muda saja,
tetapi juga orang tua baik laki-laki maupun perempuan. Uniknya dalam tradisi
mbed-mbedan ini ada krama /warga yang
”bertugas” menggelitik tubuh peserta.Jadi Pada saat saling tarik- menarik
berlangsung, krama yang bertugas bertugas menggelitik tubuh peserta akan
mengelitiki peserta mbed-mbedan. Peserta yang tak tahan gelitikan, akan melepas
pegangannya, sehingga membuat kekuatannya menjadi melemah. Permainan dinyatakan
selesai manakala peserta berhasil menarik tali yang dipegang lawan.
Rangkaian Mbed-mbedan dimulai dengan
persembahyangan di Pura Desa/Puseh. Krama desa adat yang terdiri atas 65 KK
masing-masing membawa sarana upacara berupa tipat bantal untuk dipersembahkan
kepada Ida Batara. Setelah itu, krama desa menuju depan pura yang berada di
ruas jalan Kapal – Abianbase untuk menggelar Mbed-mbedan.