Kamis, 21 Januari 2016

Mekotekan, Ritual Penolak Bala Desa Munggu


Gambar mekotekan desa munggu
Gambar mekotekan desa munggu
"tek tek tektek tek tek” terdengar suasana riuh di Desa Munggu, Kabupaten Badung, suara berasal dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya dan panjangnya sekitar 2-3,5 meter, suara kayu yang saling bergesekan dan berpalu, sehingga disebut makotek

Menurut I Ketut Kormi selaku Bendesa Adat Munggu “tradisi Mekotek yang dilakukan warga Munggu secara turun temurun terkait dengan sejarah kemenangan Raja Munggu di peperangan bersama seluruh bala tentaranya. Rasa gembira bala tentara tersebut mengangkat tombak berjalan ke desa. Bahkan hingga mengenai bala tentara sendiri yang menyebabkan luka. Melihat kejadian tersebut, raja bertapa di Wesasa dan mendapatkan petunjuk bahwa luka itu bisa cepat sembuh dan kemudian me­nggelar ritual Mekotek. Selain itu, raja juga mengatakan jika ritual ini tidak digelar maka bisa ter­kena gerubug atau wabah pe­tir. Hal ini membuat masyarakat Munggu tetap menggelar ritual Mekotek hingga sekarang ini.”
 
Gambar mekotekan desa munggu
Gambar mekotekan desa munggu
         

Dengan iringan tetabuhan gamelan baleganjur ratusan kayu dari pohon pulet sepanjang 3,5 meter itu dipegang oleh masing-masing pemain, kemudian para pemain yang terbagi menjadi dua kelompok masing-masing menggabungkan kayu tersebut hingga membentuk gunungan kerucut untuk diadu dengan gunungan kayu kelompok lawan. Salah seorang pemuda yang merasa tertantang pun menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

Gambar mekotekan desa munggu
Gambar mekotekan desa munggu
Kedua kelompok yang memegang kayu tersebut pun kemudian mempertemukan dua pemuda yang berdiri di atas kayu untuk berperang. Meski cukup berbahaya lantaran banyak pula yang terjatuh dari ujung kayu, namun tradisi ini tetap tampak menyenangkan karena banyaknya orang yang berkali-kali mencoba untuk naik. 


            ritual yang dilaksanakan setiap enam bulan kalender bali ini sudah ada sejak tahun 1934. Namun baru mulai dilestarikan sejak tahun 1946 setelah warga Munggu terbebas dari gerubug atau wabah penyakit.