Jumat, 19 Februari 2016

Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana Sejarah Bisu Perang Puputan Margarana

Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana
Sejarah Bisu Perang Puputan Margarana

perang puputan margarana
gambar perang puputan margarana


Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana Dibangun sebagai momentum untuk mengenang Perang Puputan Margarana yang berlangsung pasca kemerdekaan Indonesia, yakni pada tanggal 20 November 1946 dilakukan oleh Pahlawan Nasional bernama I Gusti Ngurah Rai. Perang Puputan Margarana memiliki makna Puputan yang berarti habis-habisan, Sedangkan Margarana berarti Pertempuran di daerah Marga, Tabanan, Bali. Jadi Perang Puputan Margarana adalah Perang habis-habisan masyarakat Bali yang terjadi di Marga Tabanan.

Di dalam buku "Jejak-jejak Pahlawan" yang ditulis oleh Sudarmanto. Dalam buku itu diceritakan setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 17 Agustus 1945, Kolonel Gusti Ngurah Rai menerima tugas membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di daerahnya untuk menghadang agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Bali setelah Jepang hengkang karena kalah dalam Perang Dunia II. Ngurah Rai kemudian membentuk pasukan Sunda Kecil bernama Ciung Wanara.

pahlawan nasional igusti ngurah rai
Gambar i gusti ngurah rai

I Gusti Ngurah Rai pergi ke Yogyakarta untuk berkonsultasi dengan Markas Besar TKR di Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan waktu itu. Sekembalinya I Gusti Ngurah Rai dari  Yogyakarta, ternyata Belanda sudah mendarat di Bali. Di sisi lain pasukan Ciung Wanara yang dibentuk Ngurah Rai telah tercerai berai menjadi pasukan-pasukan kecil. Lalu usaha pertamanya adalah mengumpulkan pasukannya itu.

Belanda awalnya mengajak I Gusti Ngurah Rai bekerja sama dalam upaya pendudukan tersebut. Hal itu nampak dalam surat Kapten J.M.T Kunie kepada I Gusti Ngurah Rai yang intinya berisi mengajak berunding tetapi ajakan kerja sama itu justru ditolak oleh I Gusti Ngurah Rai. Mendapat penolakan dari I Gusti Ngurah Rai Belanda menambah bala bantuan pasukan dari Lombok, tujuannya untuk menyergap pasukan Ngurah Rai di Tabanan. Sang colonel I Gusti Ngurah Rai  yang mengetahui pergerakan Belanda itu langsung memindahkan pasukannya ke Desa Marga. Mereka menyusuri wilayah ujung timur Pulau Bali, termasuk melintasi Gunung Agung. 

Upaya tersebut diketahui oleh pasukan Belanda dan akhirnya mengejar mereka. Pada 20 November 1946, di Desa Marga pasukan Ngurah Rai dan pasukan Belanda bertemu hingga akhirnya terjadilah pertempuran sengit. Dalam pertempuran itu pasukan Ciung Wanara berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Bala bantuan pasukan Belanda datang dengan jumlah besar, dilengkapi persenjataan lebih modern serta didukung kekuatan pesawat tempur. Kondisi pun berbalik, pasukan Ngurah Rai malah terdesak karena kekuatan tidak seimbang itu.
 
Ketika hari beranjak malam, pertempuran itu antara pasukan Ngurah Rai dan Belanda tidak juga berhenti. Pasukan Belanda juga kian brutal dengan menggempur pasukan Ciung Wanara dengan meriam dan bom dari pesawat tempur. Hingga akhirnya pasukan Ciung Wanara terdesak ke wilayah terbuka di area persawahan dan ladang jagung di kawasan Kelaci, Desa Marga. Dalam kondisi terdesak itu Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan.

perang puputan margarana
gambar perang puputan margarana
Dalam pandangan pejuang Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria daripada jatuh ke tangan musuh. Dan pada akhirnya pada tanggal 20 November 1946 Gusti Ngurah Rai gugur bersama pasukannya. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Puputan Margarana adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat Bali Melawan Penjajahan Belanda.


            Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana dibangun pada tahun 1954, delapan tahun setelah peristiwa heroik Puputan Margarana. Memiliki luas areal mencapai 25 hektar, menampung 1.342 nisan pahlawan perang kemerdekaan Indonesia di Bali.  Di bagian tengah Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana terdapat Candi atau Tugu Pahlawan Margarana berdiri megah setinggi 17 meter, dengan atap tumpang atau bertingkat 8 serta pondasi persegi 5 yang melambangkan proklamasi RI 17 Agustus 1945. Pada candi ini terpahat secara berangkai isi surat jawaban I Gusti Ngurah Rai kepada Belanda. Surat tersebut menggambarkan kebesaran jiwa perjuangan dan patriotisme bangsa Indonesia yang menolak tunduk kepada  NICA.