Minggu, 13 Maret 2016

Pura Tirta Sudamala Mata Air Suci Dari Pohon Bunut Tua

pura tirta sudamala
Bagian depan pura tirta sudamala

Om Swastiastu, hari ini colekpamor.blogspot.com merekomendasikan salah satu tempat melukat yang cukup terkenal terletak di Banjar Sedit, Desa Bebalang, Kabupaten Bangli, yaitu Pura Tirta Sudamala.

Berbeda dengan pengelukatan di Pura Tirta Empul yang berupa kolam layaknya pemandian, pura tirta empul memiliki kesan menarik. Yang ingin kembali menikmati alam, ini pura yang tepat dengan air pancuran yang alami didampingi sungai yang masih liar dan tumbuhan alami.

Perjalanan ke pura ini lumayan bagi pengendara mobil, karena jalan menuju ke pura ini sempit dan dikhususkan untuk pengguna sepeda motor. Jadi bisa jalan kaki atau sewa ojek juga ada disana.

Perjalanannya lumyan jauh melewati rumah-rumah warga berjarak kira-kira 200m, tapi sambil cuci mata dengan alam gak akan terasa perjalanan yang jauh.

Pura Tirta Sudamala terletak di bagian bawah jadi kita harus menyusuri beberapa anak tangga untuk sampai kesana.

Pura tirta sudamala memiliki arti “tirta” berarti air suci dan “sudamala” memiliki makna membersihkan dari kotoran atau mensucikan diri. Jadi pura tirta sudamala berarti air suci untuk membersihkan diri atau mensucikan diri.

Pancuran air alami ini diyakini warga memiliki energy spiritual dari ida shang hyang widhi wasa sebagai tempat melukat (membersihkan diri) dan mesudamala (menyucikan diri).

Air pancuran ini mengalir dari mata air alam di sekitar pohon bunut besar yang sudah berumur ratusan tahun. 

Selain sebagai tempat melukat, airnya juga dikonsumsi untuk kebutuhan air minum oleh warga setempat.



Asal Muasal Pura Tirta Sudamala


pura tirta sudamala
pura tirta sudamala

Di dalam prasasti termuat sejarah asal usul berdirinya pura tirta sudamala.

Diceritakan pura ini berdiri berawal dari kisah perjalanan ida pedande hender atas permintaan raja bangle yang saat itu berkuasa.

Ida pedande hender diminta untuk mencari tiga sumber mata air suci yang akan digunakan dalam upacara besar oleh pihak kerajaan.

Beliau kemudian bersemedi untuk meminta petunjuk, dalam meditasinya beliau mendapatkan menemukan lokasi mata air yang diinginkanya.

Bilau berjalan menyusuri hutan kea rah utara hingga akhirnya sampai di lokasi mata air suci yaitu mata air sudamala.

Sejak ditemukanya mata air tersebut masyarakat kemudian membangun pelinggjh di dekat dengan mata air sudamala ini.

Karena air ini diyakini suci maka penglingsir atau tetua masyarakat setempat mesesangi atau membuat sebuah janji.

Jika mata air sudamala ini dapat mengusir hama di sawah mereka maka tempat tersebut akan dibangun pelinggih atau tempat suci sebagai wujud terimakasi warga.

Dan hal itu terjadi, berkat air dari mata air sudamala ini berhasil mengusir hama di sawah warga.

Maka sesuai janji maka di bangun pura yang tidak jauh dari mata air yang bernama Pura Tirta Sudamala.


pura tirta sudamala
pancuran tirta sudamala

Lokasi Pancuran tirta sudamala

Pancuran tirta sudamala ini berada di tengah rimbunya pohon yang tumbuh secara alami yang jauh dari keramaian. 

Sehingga memberikan nuansa spiritual dan tepat digunakan untuk tempat refleksi dan meditasi diri.

Air murni yang keluar dari sela pohon bunut ini tidak pernah habis walau di musim kering sekalipun.

Di hari banyu pinaruh yang jatuh setiap enam bulan sekali merupakan hari menyucikan diri dengan sarana air dimana pancuran tirta sudamala ini dipadati oleh para umat yang ingin melakukan pengelukatan. 

Pura Tirta Sudamala, memiliki sejumlah pancuran dengan ukuran dan ketinggian berbeda kurang lebih terdapat sekitar 11 pancuran.

Dengan 9 pancuran keberadaanya lebih tinggi dan 2 lainnya lebih rendah

Ini diyakini bermakna jumlah pancoran yang terdapat di tirta sudamala mencapai 9 pancoran yang mencirikan Dewata Nawa Sanga

Dua pancoran yang tingginya sekitar 2 meter yang diyakini sebagai panglukatan Widyadara Widyadari yang biasanya diperuntukkan kepada orang yang baru selesai menjalani upacara mepandes atau potong gigi.

Saran penulis jika ingin datang ke pura ini, berpakaianlah yang standar dan bagi wanita jangan menggunakan sandal yang berhak tinggi, karena banyak sekali kejadian salah busana sehingga repot saat perjalanan ke pura ini. Sekian akhir perjalanan ini semoga bisa menjadi tuntunan perjalanan anda, terimakasih sudah membaca, Om shanti, Shanti, Shanti Om.

Sabtu, 12 Maret 2016

Pura Purohita Sebagai Lingga Siwa Tertinggi Di Dunia

gambar pura purohita
gambar pura purohita
Selain Janger koloknya yang mendunia, Buleleng juga mempunyai hal baru yang langsung terkenal di dunia yaitu Pura Purohita. Bagi yang tinggal di Buleleng mungkin tidak asing dengan pura yang baru berdiri ini. 

Pura Purohita tepatnya terletak di Desa Unggahan, Seririt, Buleleng. Bagi yang senang dengan perjalanan spiritual, pura ini mungkin perlu dimasukan ke daftar perjalanan anda.

Pura ini berada di wilayah perbukitan yang cukup tinggi, untuk sampai ke pura ini anda harus menaiki anak tangga sepanjang 100 meter, lumayan melelahkan.

Sampai di atas kita akan disuguhi oleh pemandangan asri nan alami karena di sekitar pura ini dikelilingi oleh bukit-bukit yang tinggi.

Berdirinya Pura Purohita
Berdirinya pura purohitan ini merupakan petunjuk dari Pinisepuh Puri Agung Dharma Giri Utama kepada Jero Mangku Pasek Muti Murwo Kuncoro dan semeton puri.

Diceritakan sebelum pendirian Pura Purohita berdiri, telah bermunculan dengan sendirinya  Pratima  di ruang suci Puri Agung Dharma Giri Utama di mana Puri tersebut adalah kediaman Pinisepuh.

Manakala Pura telah cukup untuk melinggihkan semua Pratima, maka semua simbol dari para Dewa dan Bhatara tersebut sekarang sudah distanakan di Purohita Pura.

Adapun Pratima/Arca tersebut adalah: Brahma, Wisnu, Siwa. Hyang Sabdapalon (Sadasiwa), Hyang Petruk (Wisnu), Brahmaraja, Siwa Nataraja, Ratu Mas Magelung, Durgapati, Dewa Bumi beserta pedang Dewa Bumi, Tribhuwana Tungga Dewi, Dewi Gayatri, Dewi Suhita, Ganeshakala, Ghanapati, Sri Ganesha, Dewi Yulan, Dewi Maheswari, Prabu Airlangga, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah.

Menurut Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro, bahwa pada awalnya pembangunan tempat suci ini adalah puri, namun konsepnya adalah pura.

Tujuan dari pendirian pura ini adalah untuk memfasilitasi dan mendekatkan masyarakat sekitar untuk melakukan kegiatan sembahyang dan yoga semadhi.

gambar pura purohita
gambar pura purohita


Lingga Masuk Rekor Muri
Pada tanggal 10 april 2015 Museum Rekor Indonesia (MURI) menobatkan lingga di pura Purohita sebagai lingga siwa tertinggi di dunia.

Dengan tinggi lingga setinggi 5,92 meter dengan keliling lingkaran mencapai 8,70 meter.

Bajra Winara Pitu Dari Dhang Hyang Sidhimantra
Winarah Pitu merupakan duwe dari Dhang Hyang Sidhimantra yang dipergunakan dalam sejarah Pujawali Eka Dasa Rudra. Tempat penarikan bajra Winarah Pitu oleh Bhatara Raja yang kini menjadi Telaga Bajra Murthi.
  
Telaga Bajra Murthi kini digunakan untuk menyucikan bajra winara pitu.

Munculnya Telaga Segara Urip
Telaga segara urip awalnya merupakan telaga yang sudah mati selama lebih dari seratus tahun.
Pada saat pembangunan pura airnya muncul kembali, dan pada saat pengerjaan telaga airnya menghilang dan setelah selesai airnya muncul kembali.

Di pura purohitan juga terdapat tempat melukat yang berasal dari delapan pancuran yang tirtanya berasal dari satu sumber

Dinamakan Astha Gangga, adalah delapan pancuran yang tirtanya berasal dari satu sumber, namun sering dilaporkan rasa dan bau berbeda. Terkadang bau busuk, manis, pahit, sepet, lengket, dll.

inih Sepuh Puri Agung Dharma Giri Utama I Gusti Agung Yudistira mengatakan, Lingga berwarna hitam yang dibalut dengan bendera merah putih di tengahnya ini banyak terkandung makna nasionalisme.Mengingat simbol-simbol negara dalam sejarahnya berkaitan erat dengan konsep sastra Hindu.

Melalui simbol kenegaraan yang ada pada Lingga ini kami berharap supaya umat Hindu tetap fleksibel dan saling menghargai perbedaan. Lingga tertinggi ini sebagai kekuatan dan energi, agar dapat menyatukan kebersamaan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.


Jumat, 11 Maret 2016

PanasnyaTradisi lukat Geni di Puri Satria Kawan

gambar tradisi lukat geni
gambar tradisi lukat geni

Tradisi lukat Geni di Puri Satria Kawan, Banjar Satria, Dawan, Klungkung hampir mirip dengan tradisi Ter-teran di desa jasri, karangasem. Biasanya melukat atau membersihkan diri secara niskala menggunakan air, tapi kali ini menggunakan sarana geni (api).

Tradisi lukat Geni merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Banjar Satria yang bertujuan untuk melukat atau membersihkan diri.

Tradisi lukat geni merupakan tradisi peperangan dengan sarana api dilaksanakan pada petang menjelang malam hari sebelum pawai arakan ogoh-ogoh. 

Dengan senjata utama yaitu daun kelapa kering yang sudah dibakar lalu dipukul-pukulkan kepada lawan, yang menimbulkan percikan-percikan api sehingga para peserta terlihat seperti mandi api makin semarak dengan diiringi tabuh baleganjur. 

Bagi yang menonton diharapkan untuk sedikit menjauh karena tradisi ini kadang memanas sehingga percikan api akan terbang kemana-mana.

Setelah perayaan tradisi ini mereka saling tawa dan tidak ada saling dendam karena makna tradisi ini bukanlah perang untuk mencari pemenang tapi lebih kepada kebersamaan.

Keyakinan dari para peserta bahwa api tidak akan melukai atau membakar diri peserta tetapi akan membersihkan diri.

Lukat Geni berasal dari kata lukat atau melukat yang memiliki makna membersikan diri dari kotoran lahir dan batin, sedangkan geni yang berarti api, sehingga ritual ini bertujuan untuk membersihkan diri secara lahir dan batin dari kekotoran dengan sarana api. 

Masyarakat sangat menikmati tradisi Lukat Geni ini karena meyakini tradisi ini sebagai wujud pembersihan diri yang dapat mebakar kesialan dan dilebur dalam bara api.

Kamis, 10 Maret 2016

Tarian Sanghyang Bojog

Tarian Sanghyang Bojog

gambar sanghyang bojog
gambar sanghyang bojog

Tarian sanghyang bojog merupakan tarian sacral dari desa bugbug, karangasem. Berbeda halnya dengan tarian sanghyang dedari atau sanghyang jaran yang rutin diadakan setiap piodalan tarian sanghyang bojog sangat jarang dipentaskan. Kenapa??

Karena tarian ini merupakan sebuah ritual yang bertujuan untuk dapat “ngeruat mala” atau membersihkan desa dan menghindarkan masyarakat dari segala bentuk wabah dan bahaya yang bersifat “skala” nyata atau “Niskala” tidak nyata. Jadi tarian ini hanya ditarikan jika terjadi tanda-tanda akan terjadinya bahaya.

Tidak ditemukan sejarah apapun tentang asal muasal tarian ini, tapi di yakini tarian kuno ini sudah ada sejak jaman leluhur masyarakat desa bugbug.

Tarian ini ditarikan pada malam hari oleh seoraang atau dua orang laki-laki yang sedang dalam keadaan kerawuhan atau kerasukan. Diyakini penari dirasuki oleh roh kera suci dari kahyangan.

Busana yang dipakai menyerupai seekor kera dengan ekor yang terbuat dari ijuk, Dengan diiringi gending atau nyanyian shanghyang.

Di dalam arena upacara akan terdapat pohon yang akan dinaiki oleh penari sanghyang bojog ini, ada juga banten persembahan yang berisi berbagai macam buah, biasanya para penari akan meloncat dan memakan buah tersebut.

Kadang ada gerakan mustahil yang dilakukan oleh penari, seperti meloncat dari ketinggian, jungkir balik ataupun melompat dengan jarak yang jauh. Semua gerakan yang dilakukan menyerupai gerakan seekor kera dan itu dilakukan dalam keadaan trance atau kerasukan.


Sejarah Pura Jati Batur Jejak Perjalanan Dhang Hyang Dwijendra

Kawasan Pura Jati Luhur.

Pura jati Batur terletak di tepian barat daya Danau Batur ini termasuk wilayah Desa Batur Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Pura Jati Batur terkatagori pura kahyangan jagat, merupakan tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Bhatara Hyang Gangga


Sejarah Pura Jati Luhur

Dibacakan di dalam buku Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali oleh Ketut Soeban, bahwa pura jati batur di bangun oleh mpu jayaireng bersama dengan sanak keluarganya.

Mpu jayaireng merupakan leluhur dari Pasek Kayu Selem Desa Kayuan, Trunyan dan Celagi.

Disebut pura jati karena sebelum melakukan upacara mahayu bhatara, harus ada tahap-tahap yang dilalui seperti nuhur tirtha (mohon air suci) ''Kamandalu'' lalu menyelenggarakan upacara Widhi Widana dengan memuja Bhatara Gangga dan lainya.

Tata cara inilah sehingga membuat pura ini disebut pura jati dasar kata dari pejati yang memiliki makna harus melaksanakan sebuah pekerjaan dengan sungguh-sungguh.


Pelinggih Ida Bhatara Sakti Dwijendra

Perjalanan jejak Dhang hyang Dwijendra juga terukir di pura ini. Dibuktikan dengan Pralingga Ida Bhatara Sakti Pura Jati berbentuk Padanda lengkap dengan Pawedaan. 

Ida Bhatara Sakti Dwijendra yang datang ke Bali pada abad ke-15 dari Jawa Timur. Kehadiran pendeta ini dalam rangka menyebarkan ajaran Siwa-Buddha yang dijaga dan dipeluk penganut Hindu di Bali hingga saat ini.

Piodalan di Pura Jati Batur berlangsung setahun sekali yaitu pada Purnama sasih Kasa pinanggal Ping 13. Piodalan ini cukup unik karena biasanya piodalan dilaksanakan pada Purnama atau Tilem.

Ukuran tingkatan karya bisa dilihat di antaranya dari jenis uang kepeng yang digunakan. Pada tingkat uatama, uang berjumlah 700, madya 500, nista 425 kepeng. 

Semua mesti genap, tak hendak dikurang lebihkan. Bila tak sesuai ketentuan, maka persembahan yang dihaturkan tak mencapai tujuannya.

Sumber//babad bali.com

Senin, 07 Maret 2016

Kesenian Okokan KerambitanTabanan

tradisi okokan desa kerambitan tabanan
tradisi okokan desa kerambitan tabanan

Selain terkenal dengan Pura-puranya seperti Pura Tamba Waras, Pura Pucak Bukit Rangda dan lainya bisa di lihat di label Tabanan, juga memiliki kesenian yang sudah sangat terkenal dan kuno pastinya, yaitu Kesenian Kokokan.

Kesenian Okokan merupakan gamelan khas yang berasal dari Banjar Belong, Desa Baturiti Kerambitan,Tabanan. kata okokan berasal dari bunyi yang dikeluarkan oleh okokan itu “klok-klok-klok” sehingga disebut okokan. 

Sejarah Okokan
Pada jamanya dulu ditemukan Okokan diberi nama Bandungan oleh penduduk desa. Okokan pada masa lalu itu adalah sebuah kegiatan yang sangat mistis dilakukan untuk mengusir wabah penyakit. 

Pada saat senja para penduduk berkeliling desa untuk mengusir roh-roh jahat yang menyebarkan wabah penyakit. 

Peduduk membawa berbagai macam kentongan dari bambu kemudian dipukul secara bertalu-talu yang melahikan bunyi-bunyian yang dipercaya bisa mengusir hawa negatif yang mengancam desa.

Pada awalya Okokan ini merupakan alat musik yang digunakan pada hewan binatang ternak seperti sapi atau kerbau, biasanya dikalungkan dilehernya. 

Okokan ini tidak dipasang pada binatang piaraan, tetapi dikalungkan langsung pada leher orang dan di ayun-ayunkan, kegiatan ini dilakukan untuk hiburan mengisi waktu luang saat menunggu musim panen para peduduk memainkan alat okokan ini sehigga mejadi alat musik sampai sekarag. 

Tradisi ini dilakukan secara turun temurun dari para tetua atau para leluhur, maka alat musik ini sudah merupakan bagian dari kehidupan petani tradisional masyarakat Banjar Belong bermula dari wabah, okokan ini pun dimainkan untuk mengusir wabah, sesuia dengan kepercayaan bahwa wabah yang menyerang itu disebabkan oleh mahluk halus, maka harus diusir dengan membunyikan alat-alat yang bisa menghasilkan bunyi, maka digunakanlah okokan dengan dimainkan oleh beberapa orang untuk mengusir wabah. 

tradisi okokan desa kerambitan tabanan
tradisi okokan desa kerambitan tabanan

Dimainkan oleh beberapa orang sambil berkeliling desa, Ritual ini disebut Ngerebeg, ngerebeg akan dilaksanakan setiap ada wabah yang melanda masyarakat seperti cacar, kolera dan sebaginya, maka tetua desa akan mengambil tindakan demi keselamatan warga dengan upacara pecaruan diiringi dengan gegerebegan, selain itu juga dilaksanakan sehabis melakukan upacara tawur kesanga dengan mengelilingi desa. 

Dan untuk menambah sakral ngerebeg, maka okokan ini diiringi dengan dua buah kendang, yang disebut kendang gede, dibuat kira-kira pada tahun 1917 selanjutnya masyarakat mempercayai bahwa kendang gede ini yang dipercaya warga Banjar Belong diyakini memiliki kekuatan magis.

Okokan pada umumnya terbuat dari bahan kayu yang bagian dalamnya dilobangi yang hampir menyerupai kentongan tapi bentuknya lebih besar, dan didalamnya diisi pemukul yang disebut palit. 

Alat bunyi-bunyian ini umumnya dipasang pada binatang ternak seperti sapi atau kerbau, sebagai penghias atau tanda hewan tersebut, okokan ini akan mengeluarkan bunyi jika “klok-klok-klok” diayun-ayunkan.

Minggu, 06 Maret 2016

Pura Petitenget "Peti Angker" Desa Kerobokan

Gambar pura petitenget
Gambar pura petitenget

Om swastiastu
Tulisan ini berdasarkan rekomendasi dari teman facebook yaitu wayan sika dari Badung untuk mengulas Pura Petitenget, terimakasih masukanya.

Pura Petitenget.
Bagi yang tinggal ataupun bekerja di seputaran daerah kerobokan pasti tahu Pura Petitenget, terletak di Banjar Batu Belig, Kerobokan, Kuta Utara, Bali. Pura ini berada di sepanjang pesisir pantai petitenget yang berpasir putih keemasan.

Pantai ini begitu indah, keindahnya didukung oleh keberadaan pura ini Piodalan di pura ini berlangsung tiap Buda Cemeng Merakih pada saat itu pura akan dipadati oleh para pemedek atau umat yang akan melakukan persembahyangan dan para turis mancanegara yang sekedar ingin mengabadikan berlangsungnya prosesi upacara.

Dan di setiap piodalan akan ditarikan tarian sakral yaitu tarian telek yang melambangkan keayuan, kelembutan dan keramah- tamahan.

Menurut Bendesa Adat Kerobokan A.A. Putu Sutarja, Pura Petitenget merupakan salah satu pura untuk memohon kemakmuran dan keajegan jagat

Dahulu tempat di seputaran pura ini “tenget” atau angker karena dahulu tempat ini berupa hutan yang di huni oleh raksasa bernama I butha ijo, tapi itu dulu . Bagaimana bisa seperti itu begini ceritanya.


Gambar ilustrasi bhuta ijo
Gambar ilustrasi bhuta ijo

Dahulu kala diceritakan hutan di pesisir pantai petitenget dahulu, dihuni oleh raksasa yang merupakan pengawal dari Ida Bhatara Labuhan Mascet yang bernama I bhuta ijo.

Pada saat itu pedanda wawu rauh yaitu dhang hyang Dwijendra dalam perjalananya menuju pura luhur uluwatu untuk moksa bertemu dengan I bhuta dan memintanya untuk menjaga pecanangan (tempat sirih) milik beliau. I bhuta ijo kemudian diberi kekuatan oleh beliau untuk menjaga pecanangan tersebut.

Beliau pun meninggalkan pantai petitenget dan menuju ke tempat moksa beliau di pura uluwatu.

Tapi keberadaan I bhuta ijo membuat masyarakat resah, I bhuta ijo dengan ilmu kesaktianya membuat gerubug atau wabah penyakit bagi orang yang berani masuk ke daerah tempat pecanangan yang dijaganya. I bhuta ijo menganggap orang yang masuk ke daerah itu berniat inggin mencuri pecanangan dhang hyang Dwijendra.

Warga lalu meminta nangkil dan meminta petunjuk dhang hyang Dwijendra yang pada saat itu sedang bersemedi di pura luhur uluwatu, beliau mendengar keluh kesah warga dan memberikan petunjuk warga disarankan untuk membuat Palinggih Pasimpangan atau bangunan suci untuk stana Ida Bhatara Labuhan Masceti, dan pagedongan untuk stana I Bhuta Ijo pura tersebut dinamakan pura petitenget.

Dan juga persembahan berupa lelaban tiap Tilem Kawulu masarana sampi selem batu lengkap dengan ajeng-ajengan cacahan.

Setelah pembangunan pura ini keadaan pun mulai berubah, tempat tersebut sudah seperti sekarang tidak ada wabah penyakit ataupun raksasa yang menakutkan karena sudah di stanakan di pura petitenget.

Jika kita masuk kedalam pura, akan terdapat palinggih Gedong stana Dang Hyang Dwijendra, Meru Tumpang Lima linggih Ida Luhuring Dalem Solo, Majapahit dan Mekah. Juga terdapat palinggih Catu Meres, Catu Mujung, palinggih Padma Capah, Naga Gombang dan Padmasana.

Gambar pura petitenget

Nama Pura petitenget diambil berdasarkan cerita di atas yang bermakna “Peti” berarti kotak yang dalam hal ini merupakan pecanangan dari dhang hyang dwijendra dan “tenget” yang berati angker bisa diambil kata yang bermakna peti yang angker. Dan kawasaan pantainya pun diberi nama pantai petitenget .

Terimakasi Kepada
Pura Petitenget merupakan recomendasi ulasan dari wayan sika di Badung, silahkan tinggalkan komentar tentang tradisi, sejarah pura, desa, atau apapun dari tempat kalian atau yang menarik guna untuk mendukung membangun blog ini.

Terimakasi sudah berkunjung dan membaca semoga bermamfaat

Om shanti, shanti, shanti Om

Sabtu, 05 Maret 2016

Pura Luhur Pucak Bukit Rangda


pura luhur bukit rangda

Om swastiastu
Tulisan ini berdasarkan rekomendasi dari teman facebook yaitu Gede Adi dari Tabanan untuk mengulas Pura Luhur Pucak Bukit Rangda, terimakasih masukanya.

Pura Luhur Pucak Bukit Rangda

Pura luhur pucak bukit rangda terletak di puncak bukit rangda, kata rangda dalam hal ini berarti hutan rangdu atau kepuh.

Pura ini berada di perbatasan Desa Lalanglinggah bagian utara, dengan batas selatan Desa Mundeh, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan.

Di pura ini terdapat pohon kepuh yang besar, dan dikeramatkan oleh masyarakat karena diyakini memiliki kekuatan gaib yang melindungi masyarakat dari hal negatif yang bersifat niskala.

Pura ini di sungsung dan di empon oleh 3 ( tiga ) Desa Dinas yaitu : Mundeh Kauh, Lalang Linggah dan Selabih atau oleh 9 ( Sembilan Desa Pakraman ) yaitu Desa Pakraman Sura Berata, Yeh Bakung, Beja, Bangkiang Jaran, Bukit Tumpeng, Selabih, Penataran, Yeh Sibuh dan Desa Pakraman Antap Gawang.

Asal Muasal Nama Bukit Rangda.
Disebutkan bernama I Mucaling anak dari dukuh mayaspuri bersama 5 ( enam) anaknya yang lain bernama, Ratu Ngurah Tangkeb Langit, I Ratu Wayan Teba, I Made Jelawung, I Nyoman Pengadangan, I Ketut Petung dan Ni Luh Rai Darani tinggal di pucak bukit rangda.

I mucalik menekuni ilmu penestian atau ilmu hitam, I mucalik dengan ilmu penestianya menyebarkan wabah penyakit kepada warga desa Lalang linggah.

Ini membuat kawasan desa lalang linggah menjadi kacau, hal ini pun di ceritakan kepada Rsi Markandya. Dengan ilmu kebatinanya beliau kemudian membuat tirta atau air suci.

Dengan tirta tersebut beliau berhasil membuat I mucaling pergi meninggalkan saudara-saudaranya yang lain di bukit rangda.

rsi markendya memerintahkan mereka untuk membangun pura di pucak bukit sebagai permohonan maaf, yang sekarang berdiri yaitu pura luhur pucak bukit rangda.


Terimakasi Kepada
Pura Luhur Pucak Bukit Rangda merupakan recomendasi ulasan dari Gede Adi di Tabanan, silahkan tinggalkan komentar tentang tradisi, sejarah pura, desa, atau apapun dari tempat kalian atau yang menarik guna untuk mendukung membangun blog ini.

Terimakasi sudah berkunjung dan membaca semoga bermamfaat

Om shanti, shanti, shanti Om

Jumat, 04 Maret 2016

Tarian Sakral Sanghyang Dedari

Tarian Sacral Sanghyang Dedari
Tulisan ini berdasarkan rekomendasi dari teman facebook yaitu Komang Arya dari karangasem untuk mengulas tari sakral sanghyang dedari, terimakasih masukanya. 

Shang hyang dedari merupakan tarian sacral yang dipentaskan sebagai tarian wajib pada sebuah ritual keagamaan.

Tarian shang hyang dedari disebut sacral karena tarian ini di lakukan pada saat penari sedang dalam keadaan “kerawuhan” atau kerasukan.

Berbeda dengan tarian dengan nama sejenis seperti tari sanghyang jaran, sanghyang bojog atau pun sanghyang janger maborbor yang mengamuk dan berapi-api, tarian shanghyang dedari ini sangat lembut seperti halnya tarian legong sehingga tarian ini juga merupakan seni pertunjukan sacral yang indah.

Tarian  Sanghyang “dedari” memiliki makna bidadari, tarian ini tersebar di berbagai daerah seperti bangli, badung dan dari desa bona, blahbatuh, gianyar.

Asal Mula Tarian Sanghyang Dedari Desa Bona
Sejarah awal mula tarian ini khususnya yang berasal dari desa bona, blahbatuh, gianyar diserang wabah penyakit yang diderita oleh warga, wabah yang begitu cepat dan sulit diobati,

Konon, ada beberapa anak-anak gadis bermain di seputaran pura puseh yang pada saat itu baru usai “piodalan” atau upacara agama, mereka bermain sambil bernyanyi-nyanyi lagu shanghyang.

Seorang gadis lalu menari mengikuti irama nyanyian sanghyang, tanpa sadar gadis itu kerawuhan atau kemasukan.

Melihat kejadian ini wargapun memutuskan untuk nangiang atau mensakralkan tarian sanghyng dedari dengan harapan wabah penyakit hilang dan tidak kembali mewabah desa.

tarian sakral sanghyang dedari
tarian sakral sanghyang dedari

Ritual Tarian Sanghyang Dedari
Tarian ini ditarikan oleh gadis-gadis cilik dalam hal ini karena gadis-gadis yang belum akil balik atau dewasa masih dianggap masih suci secara skala.

Tarian ini diawali dengan dua orang penari yang duduk di tengah prosesi upacara, kemudian akan dinyanyikan irama berlaraskan slendo dan pelog atau gending (nyanyian) shanghyang dedari.

Penari lalu memejamkan mata, dan hanyut dalam gending sanghyang lalu pinsan ini berarti penari sudah kerawuhan atau kesurupan.

Dalam kedaan kerawuhan ini penari ini kemudian di kenakan kostum berupa gelungan, pakaian tari dan kepet atau kipas tari.

Kemudian para penari dipundut atau dipikul dengan bahu sambil terus diiringi dengan gending sanghyang dan gamelan palegongan, para gadis ini menari-nari dengan mata terpejam sambil dipikul di bahu dan melompat ke tanah yang berarti tarian sudah usai.

tarian sakral sanghyang dedari
tarian sakral sanghyang dedari

Berbeda halnya dengan di desa pasangka karangasem, penari sanghyang dedari akan naik ke batang bambu yang sudah disiapkan dan menari-nari dia atas batang bambu.

Menonton tarian sanghyang desa pasangka sangat menegangkan, bayangkan penari yang masih belia dalam keadaan trance atau kesurupan memanjat ke bambu tinggi sambil menari-nari tanpa rasa takut terjatuh.



Terimakasi Kepada
Tarian sacral sanghyang janger merupakan recomendasi ulasan dari Komang Arya di karangasem , silahkan tinggalkan komentar tentang tradisi, sejarah pura, desa, atau apapun dari tempat kalian atau yang menarik guna untuk mendukung membangun blog ini.

Terimakasi sudah berkunjung dan membaca semoga bermamfaat

Om shanti, shanti, shanti Om

Selasa, 01 Maret 2016

Keunikan Desa Bayung Gede

desa banyung gede, angkul-angkul desa
gambar desa bayung gede

Tentang Desa Bayung Gede.
Desa banyu gede adalah desa kuno yang merupakan induk dari desa-desa kuno di bali seperti halnya Penglipuran, Sekardadi, Bonyoh dan beberapa desa lainnya.

Desa ini memiliki cirri khas bangunan yang berasitektur kuno dengan material tiang dari kayu dan atap khas sirap bambu yang masih tetap dipertahankan.

ini merupakan cara tradisional bangunan kuno yang dirancang agar anti gempa.

Desa Bayung gede memiliki cuaca yang cerah dan hawa yang sejuk, terletak di terletak di, Kecamatan Kintamanai, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.

Berada di ketinggian 800-900 meter di atas permukaan laut, membuat pertanian lahan kering sebagai andalan warga desa ini.

Desa Bayung Gede terkenal dengan hasil pertanianya yang merupakan mata pencarian utama warga desa ini berupa, kopi, jeruk, jagung dan padi gaga.

Desa ini tidak adanya perbedaan status sosial berdasarkan sistem kasta Brahmana, Kesatria, Wesia atau pun Sudra

Dan juga pelaksanaan agama juga berbeda.

Khususnya dalam melaksanakan upacara seperti Dewa Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya, orang yang memuput upacara keagamaan dan adat adalah Jero Kubayan bukan Pedanda sebagaimana lasimnya agama Hindu di Bali.



Asal Usul Desa Bayung Gede


gambar desa banyung gede
gambar desa bayung gede

Dari sumber tidak tertulis sejarah desa bayung gede dimulai dari pemberantasan wilayah hutan lebat yang dilakukan oleh leluhur desa bayung gede.

Pemberatasan hutan ini memerlukan waktu yang panjang dan usaha yang keras.

Dibutuhkan “bayu gede” atau tenaga yang besar untuk membabat hutan menjadi desa yang layak huni.

Di inspirasi dari kejadian itu maka desa tersebut dinamai desa bayu gede lalu berubah menjadi bayung gede yang bermakna tenaga yang besar.

Masyarakat Desa Bayung Gede percaya bahwa leluhur mereka berasal dari tued kayu atau pangkal pohon,

Keturunan dari tued kayu dihidupkan dengan tirta kamandalu yang dibawa dari Pulau Jawa oleh titisan Bhatara Bayu

Oleh Ida Bhatara Toh Langkir kedua manusia yang berasal dari tued tersebut dinikahkan yaitu laki-laki dan wanita.

Pasangan yang menikah pertama dikasi tempat tinggal dibagian timur dan yang belum menikah dibagian barat yang dipisahkan dengan jurang. 

Bila masing-masing sudah mempunyai keturunan sebanyak 20 kepala keluarga maka harus menjadi satu wilayah tempat tinggal dalam satu desa, yaitu Desa Bayung Gede sekarang. 

Pasangan dan keluarga yang bertempat tinggal di bagin timur menjadi tempek kangin dan yang tinggal dibagian barat menjadi tempek kauh.



Awig-Awig Bagi Pengantin Baru Di Desa Bayu Gede.
Ada awig-awig atau peraturan yang tidak boleh dilanggar bagi warga yang baru saja menikah.

Peraturan tersebut adalah warga desa yang baru menikah dilarang memasuki pekarangan jika belum membayar tumbakan atau maskawin.

Tumbakan tersebut berupa dua ekor sapi yang akan diserahkan kepada pihak desa. baca juga: tradisi nyepeg sampi desa asak.

Serta pasangan pasutri wajib melakukan tapa brata atau puasa dan penyekeban atau pematangan di sebuah gubuk kecil di ujung desa.

Desa Hanya Untuk Anak Bungsu.
Desa ini juga menerapkan peraturan yang merugikan pihak yang lebih tua dalam keluarga.

Disini diterapkan apabila anak laki-laki paling bungsu (terakhir) menikah maka anak yang tertua harus meninggalkan rumah.

Jadi yang berhak atas rumah tradisional dimiliki oleh yang bungsu dan yang tertua harus pergi meninggalkan rumah.


Pengusiran Warga Yang memadu.


gambar desa banyung gede
Karang Memadu di Penglipuran


Tradisi di desa ini mendidik kaum lelakinya untuk bermonogami yaitu untuk hanya memiliki satu istri, tak boleh lebih.

Dan jika ada laki-laki yang berpoligami atau memadu maka lelaki tersebut akan diberhentikan sebagai krama desa banyu gede

karena diyakini orang yang berpoligami pantang akan tinggal di pekarangan desa. Jika berani tinggal di pekarangan desa, bencana akan menimpanya.

Pernah terjadi kejadian dimana pernah ada tiga warganya yang menjalani hidup berpoligami. Mereka tinggal di pekarangan desa. Akibatnya, musibah menimpa keluarga itu.

Yaitu Istri keduanya meninggal dunia beberapa lama setelah berpoligami

Ada juga kejadian naas lainnya malah menimpa si lelaki yang berpoligami. Setelah mengambil istri baru, sang lelaki tewas menggantung diri.

Kejadian itu sering berulang sehingga warga desa bayung gede tidak berani menjalani hidup berpoligami.

Sebagian besar masyarakat memandang perkawinan memadu akan mendatangkan masalah sosial kemasyarakatan dalam melakoni kehidupan baik yang menyangkut kehidupan dalam bermasyarakat maupun menyangkut kesetaraan antara kaum wanita dengan kaum laki-laki.

Bila pun terpaksa harus berpoligami warga tersebut harus tinggal di luar wilayah pekarangan desa. Pekarangan desa menjadi tempat terlarang bagi mereka yang berpoligami.

Yang melanggar awig-awig tersebut hanya boleh tinggal di perkebunan di sebelah barat dan selatan desa atau di tanah tegalan dalam hal ini berarti diasingkan.

Dalam persembahyangan pun juga diatur, dimana pihak yang memadu yaitu istri paling kecil dilarang berlama-lama di kawasan pura.

Ini sama halnya dengan awig-awig yang ada di desa penglipuran, jika ada warganya yang berpoligami harus tinggal dipekarangan yang sudah disapkan oleh desa bernama Karang Memadu


Prosesi Penguburan Mayat Yang Berbeda.
Perbedaan Prosesi penguburan mayat di desa ini berdasarkan jenis kelaminya, dimana posisi jenazah laki-laki maupun perempuan yang di kubur dengan posisi yang berbeda.

Jenazah perempuan di kuburkan dengan posisi terlentang, hal ini bermakna bahwa perempuan merupakan bumi jadi menghadap ke langit, yaitu posisi mengadah seperti biasa.

Sementara untuk jenazah laki-laki di kuburkan telungkup hal ini untuk menggambarkan bahwa laki-laki adalah langit yang selalu menghadap bumi.

Dalam proses perjalanan ke kuburan juga berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya, di desa itu tidak menggunakan banten ataupun sesajen.

Jenasah langsung di bawa ke kuburan tanpa sarana banten atau sesajen apapun. Selain tanpa sesajen, sesampainya jenasah di tempat penguburan akan dimandikan kembali. 

Kalau desa lainnya di Bali biasanya mayat dimandikan satu kali saat di rumah duka.

Airnya untuk pemandian ke dua kali pun bukan air sembarangan, air harus dibawa menggunakan bambu.

Dimana bambu tersebut dibentuk sedemikian rupa sehingga mampu menampung air dan itulah yang dibawa masyarakat untuk memandikan mayat di kuburan.

setelah memandikan mayat, warga kemudian mengusung kembali mayat yang telah dibersihkan, setelah itu diputar sebanyak sebelas kali ke arah kanan.

Setelah itu baru dilakukan proses penguburan baca juga: mesbes bangke banjar buruan,gianyar

gambar desa banyung gede
gambar setra ari-ari

Setra Ari-Ari Desa Bayu Gede.
Setra ari-ari ini merupakan kuburan khusus untuk mengubur ari-ari

Namun ari-ari tersebut tidak dikubur dalam tanah melainkan di gantung pada pohon besar bernama pohon kayu Bungkak.

Dipercaya oleh masyarakat bahwa cara ini dapat memelihara dan melindungi banyi mereka secara magis, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit dan gangguan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. 

Berbeda dengan desa-desa lainnya ari-ari yang lahir bersamaan dengan bayi akan dikubur pada halaman rumah sehingga mudah dijaga dan dilindungi.

Batok kelapa diberi nama, agar mudah untuk mengetahui nama dari pemilik Batok tersebut agar tidak ada terjadinya benturan nama.

gambar setra ari-ari di desa banyung gede
gambar setra ari-ari

Waktu penguburan tidak sembarangan harus pada pagi dan sore hari, tidak boleh saat matahari terbit.

Penguburan ari-ari seperti ini konon di ajarkan oleh seseorang yang disembah dan dipuja oleh masyarakat Desa Bayung Gede yaitu Ida Dukuh.

Ida Dukuh yang mengajarkan ajaran-ajaran tentang kebudayaan, termasuk mengajarkan cara penguburan ari-ari yang dilakukan dengan mengantungkannya pada pohon bungkak.

Ini dimaksudkan agar lingkungan Desa Bayung Gede tetap bersih dah suci dari segala kotoran negatif bersifat niskala.

Prosesi upacara ari-ari dengan sistem gantung juga merupakan bentuk penghormatan terhadap nenek moyang masyarakat Bayung Gede. 

Karena hanya dalam prosesi inilah pohon dimaknasi sebagai manusia yang menjaga saudara bayi (pasenta) dari berbagai macam gangguan.