Selasa, 01 Maret 2016

Keunikan Desa Bayung Gede

desa banyung gede, angkul-angkul desa
gambar desa bayung gede

Tentang Desa Bayung Gede.
Desa banyu gede adalah desa kuno yang merupakan induk dari desa-desa kuno di bali seperti halnya Penglipuran, Sekardadi, Bonyoh dan beberapa desa lainnya.

Desa ini memiliki cirri khas bangunan yang berasitektur kuno dengan material tiang dari kayu dan atap khas sirap bambu yang masih tetap dipertahankan.

ini merupakan cara tradisional bangunan kuno yang dirancang agar anti gempa.

Desa Bayung gede memiliki cuaca yang cerah dan hawa yang sejuk, terletak di terletak di, Kecamatan Kintamanai, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.

Berada di ketinggian 800-900 meter di atas permukaan laut, membuat pertanian lahan kering sebagai andalan warga desa ini.

Desa Bayung Gede terkenal dengan hasil pertanianya yang merupakan mata pencarian utama warga desa ini berupa, kopi, jeruk, jagung dan padi gaga.

Desa ini tidak adanya perbedaan status sosial berdasarkan sistem kasta Brahmana, Kesatria, Wesia atau pun Sudra

Dan juga pelaksanaan agama juga berbeda.

Khususnya dalam melaksanakan upacara seperti Dewa Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya, orang yang memuput upacara keagamaan dan adat adalah Jero Kubayan bukan Pedanda sebagaimana lasimnya agama Hindu di Bali.



Asal Usul Desa Bayung Gede


gambar desa banyung gede
gambar desa bayung gede

Dari sumber tidak tertulis sejarah desa bayung gede dimulai dari pemberantasan wilayah hutan lebat yang dilakukan oleh leluhur desa bayung gede.

Pemberatasan hutan ini memerlukan waktu yang panjang dan usaha yang keras.

Dibutuhkan “bayu gede” atau tenaga yang besar untuk membabat hutan menjadi desa yang layak huni.

Di inspirasi dari kejadian itu maka desa tersebut dinamai desa bayu gede lalu berubah menjadi bayung gede yang bermakna tenaga yang besar.

Masyarakat Desa Bayung Gede percaya bahwa leluhur mereka berasal dari tued kayu atau pangkal pohon,

Keturunan dari tued kayu dihidupkan dengan tirta kamandalu yang dibawa dari Pulau Jawa oleh titisan Bhatara Bayu

Oleh Ida Bhatara Toh Langkir kedua manusia yang berasal dari tued tersebut dinikahkan yaitu laki-laki dan wanita.

Pasangan yang menikah pertama dikasi tempat tinggal dibagian timur dan yang belum menikah dibagian barat yang dipisahkan dengan jurang. 

Bila masing-masing sudah mempunyai keturunan sebanyak 20 kepala keluarga maka harus menjadi satu wilayah tempat tinggal dalam satu desa, yaitu Desa Bayung Gede sekarang. 

Pasangan dan keluarga yang bertempat tinggal di bagin timur menjadi tempek kangin dan yang tinggal dibagian barat menjadi tempek kauh.



Awig-Awig Bagi Pengantin Baru Di Desa Bayu Gede.
Ada awig-awig atau peraturan yang tidak boleh dilanggar bagi warga yang baru saja menikah.

Peraturan tersebut adalah warga desa yang baru menikah dilarang memasuki pekarangan jika belum membayar tumbakan atau maskawin.

Tumbakan tersebut berupa dua ekor sapi yang akan diserahkan kepada pihak desa. baca juga: tradisi nyepeg sampi desa asak.

Serta pasangan pasutri wajib melakukan tapa brata atau puasa dan penyekeban atau pematangan di sebuah gubuk kecil di ujung desa.

Desa Hanya Untuk Anak Bungsu.
Desa ini juga menerapkan peraturan yang merugikan pihak yang lebih tua dalam keluarga.

Disini diterapkan apabila anak laki-laki paling bungsu (terakhir) menikah maka anak yang tertua harus meninggalkan rumah.

Jadi yang berhak atas rumah tradisional dimiliki oleh yang bungsu dan yang tertua harus pergi meninggalkan rumah.


Pengusiran Warga Yang memadu.


gambar desa banyung gede
Karang Memadu di Penglipuran


Tradisi di desa ini mendidik kaum lelakinya untuk bermonogami yaitu untuk hanya memiliki satu istri, tak boleh lebih.

Dan jika ada laki-laki yang berpoligami atau memadu maka lelaki tersebut akan diberhentikan sebagai krama desa banyu gede

karena diyakini orang yang berpoligami pantang akan tinggal di pekarangan desa. Jika berani tinggal di pekarangan desa, bencana akan menimpanya.

Pernah terjadi kejadian dimana pernah ada tiga warganya yang menjalani hidup berpoligami. Mereka tinggal di pekarangan desa. Akibatnya, musibah menimpa keluarga itu.

Yaitu Istri keduanya meninggal dunia beberapa lama setelah berpoligami

Ada juga kejadian naas lainnya malah menimpa si lelaki yang berpoligami. Setelah mengambil istri baru, sang lelaki tewas menggantung diri.

Kejadian itu sering berulang sehingga warga desa bayung gede tidak berani menjalani hidup berpoligami.

Sebagian besar masyarakat memandang perkawinan memadu akan mendatangkan masalah sosial kemasyarakatan dalam melakoni kehidupan baik yang menyangkut kehidupan dalam bermasyarakat maupun menyangkut kesetaraan antara kaum wanita dengan kaum laki-laki.

Bila pun terpaksa harus berpoligami warga tersebut harus tinggal di luar wilayah pekarangan desa. Pekarangan desa menjadi tempat terlarang bagi mereka yang berpoligami.

Yang melanggar awig-awig tersebut hanya boleh tinggal di perkebunan di sebelah barat dan selatan desa atau di tanah tegalan dalam hal ini berarti diasingkan.

Dalam persembahyangan pun juga diatur, dimana pihak yang memadu yaitu istri paling kecil dilarang berlama-lama di kawasan pura.

Ini sama halnya dengan awig-awig yang ada di desa penglipuran, jika ada warganya yang berpoligami harus tinggal dipekarangan yang sudah disapkan oleh desa bernama Karang Memadu


Prosesi Penguburan Mayat Yang Berbeda.
Perbedaan Prosesi penguburan mayat di desa ini berdasarkan jenis kelaminya, dimana posisi jenazah laki-laki maupun perempuan yang di kubur dengan posisi yang berbeda.

Jenazah perempuan di kuburkan dengan posisi terlentang, hal ini bermakna bahwa perempuan merupakan bumi jadi menghadap ke langit, yaitu posisi mengadah seperti biasa.

Sementara untuk jenazah laki-laki di kuburkan telungkup hal ini untuk menggambarkan bahwa laki-laki adalah langit yang selalu menghadap bumi.

Dalam proses perjalanan ke kuburan juga berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya, di desa itu tidak menggunakan banten ataupun sesajen.

Jenasah langsung di bawa ke kuburan tanpa sarana banten atau sesajen apapun. Selain tanpa sesajen, sesampainya jenasah di tempat penguburan akan dimandikan kembali. 

Kalau desa lainnya di Bali biasanya mayat dimandikan satu kali saat di rumah duka.

Airnya untuk pemandian ke dua kali pun bukan air sembarangan, air harus dibawa menggunakan bambu.

Dimana bambu tersebut dibentuk sedemikian rupa sehingga mampu menampung air dan itulah yang dibawa masyarakat untuk memandikan mayat di kuburan.

setelah memandikan mayat, warga kemudian mengusung kembali mayat yang telah dibersihkan, setelah itu diputar sebanyak sebelas kali ke arah kanan.

Setelah itu baru dilakukan proses penguburan baca juga: mesbes bangke banjar buruan,gianyar

gambar desa banyung gede
gambar setra ari-ari

Setra Ari-Ari Desa Bayu Gede.
Setra ari-ari ini merupakan kuburan khusus untuk mengubur ari-ari

Namun ari-ari tersebut tidak dikubur dalam tanah melainkan di gantung pada pohon besar bernama pohon kayu Bungkak.

Dipercaya oleh masyarakat bahwa cara ini dapat memelihara dan melindungi banyi mereka secara magis, sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit dan gangguan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. 

Berbeda dengan desa-desa lainnya ari-ari yang lahir bersamaan dengan bayi akan dikubur pada halaman rumah sehingga mudah dijaga dan dilindungi.

Batok kelapa diberi nama, agar mudah untuk mengetahui nama dari pemilik Batok tersebut agar tidak ada terjadinya benturan nama.

gambar setra ari-ari di desa banyung gede
gambar setra ari-ari

Waktu penguburan tidak sembarangan harus pada pagi dan sore hari, tidak boleh saat matahari terbit.

Penguburan ari-ari seperti ini konon di ajarkan oleh seseorang yang disembah dan dipuja oleh masyarakat Desa Bayung Gede yaitu Ida Dukuh.

Ida Dukuh yang mengajarkan ajaran-ajaran tentang kebudayaan, termasuk mengajarkan cara penguburan ari-ari yang dilakukan dengan mengantungkannya pada pohon bungkak.

Ini dimaksudkan agar lingkungan Desa Bayung Gede tetap bersih dah suci dari segala kotoran negatif bersifat niskala.

Prosesi upacara ari-ari dengan sistem gantung juga merupakan bentuk penghormatan terhadap nenek moyang masyarakat Bayung Gede. 

Karena hanya dalam prosesi inilah pohon dimaknasi sebagai manusia yang menjaga saudara bayi (pasenta) dari berbagai macam gangguan.

Tidak ada komentar: